SANKELUX-Seiring perkembangan teknologi
yang semakin gencar dan munculnya industri-industri raksasa telah membuat
kebutuhan energi dunia sangat meningkat tajam. Termasuk permintaan energi di
Indonesia, khsusunya kebutuhan akan energi listrik yang terus meningkat setiap
tahunnya baik untuk sektor rumah tangga (mikro) dan industri (makro). Menurut
data yang diambil dari “Outlook Energi Indonesia†tahun 2016, pertumbuhan
kebutuhan energi sektor komersial diperkirakan akan terus meningkat pada tahun
2050 dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 7% per tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang sangat tinggi, pemanfaatan energi baru dan terbarukan terus digiatkan oleh pemerintah untuk mencapai target yang telah. Salah satunya adalah pemanfaatan energi surya, dimana hampir seluruh daerah di Indonesia berpotensi untuk dikembangan sistem PLTS. Baik untuk kebutuhan rumah tangga dan industri, dapat menggunakan harga listrik tenaga surya 5000 watt untuk modul surya.
Kendala Perencanaan Lahan untuk PLTS
Energi terbarukan dianggap sebagai sumber energi bersih yang tidak memiliki emisi gas rumah kaca. Namun, pada kenyataannya energi terbarukan juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan, baik emisi yang dihasilkan ke udara, penggunaan lahan, penggunaan air, dampak pada mahkluk hidup dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam pembangunan PLTS pun perlu untuk dirancang dengan menggunakan AMDAL (Analsis Dampak Lingkungan) untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan.
Pengggunaan lahan untuk pembangkit listrik tenaga surya sangat besar dan dapat meningkatkan degradasi lahan yang sangat besar. Rata-rata luas lahan yang dibutuhkan untuk per 1 megawatt (MW) mencapai 1-4 hektar, tergantung pada teknologi yang digunakan. Hal ini dapat berdampak pada hilangnya habitat dan berkurangnya lahan produktif, karena penggunaan lahan untuk PLTS tidak dapat dibagi dengan penggunaan perkebunan atau pertanian.
Dalam penentuan lahan yang diperlukan untuk membangun PLTS, akan ditentukan terlebih dahulu spesifikasi panel surya yang akan digunakan. Pada “tulisan ini†telah dibahas bahwa panel surya polikristalin lebih cocok digunakan untuk kebutuhan rumah tangga karena harganya yang lebih rendah. Namun, untuk penggunaan secara makro panel surya jenis monokristalin akan lebih sesuai karena efisiensinya yang tinggi. Efisiensi ini akan berpengaruh dalam menurunkan luas area lahan.
Upaya menurunkan luas area lahan dalam pembangunan PLTS sangatlah penting. Tidak hanya untuk meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan, tetapi juga menekan biaya pengadaan lahan yang menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi harga investasi sebuah pembangkit listrik. Oleh karena itu, melihat dampak dan kendala tersebut, terdapat sebuah sistem PLTS yang dirancang tidak berada di atas permukaan tanah.
PLTS Terapung (Floating Photovoltaic System)
Secara struktur sistem PLTS terapung (Floating Photovoltaic System) sama dengan PLTS biasanya (Ground Photovoltaic System), semua komponen yang digunakan adalah sama kecuali fondasi yang digunakan sebagai penyangga (lihat gambar diatas). PLTS terapung tidak menggunkan fondasi tetap dan kaku, tetapi menggunakan struktur buoyancy dan sistem mooring. Skema FPS dibagi menjadi dua jenis, yaitu tipe struktural dan tipe all in on buoyancy. Perbedaan keduanya terlihat pada struktur apung yang digunakan. Tipe pertama, memanfaatkan kerangka logam tahan karat sebagai dudukan modul PV dan modul apung menggunakan tangki yang di dalamnya diisi dengan styrofoam sebagai langkah antisipasi jika tangki mengalami kebocoran.
Tipe kedua, memanfaatkan platform bouyancy yang telah terintegrasi dengan dudukan modul PV. Tipe ini lebih mudah dalam proses pemasangan dan perawatan, serta tidak memerlukan proses fabrikasi kerangka. Namun, tipe kedua ini hanya mampu mengakomodasi kedalaman hingga 20 m, sedangkan tipe pertama dapat mencapai 60 m. Meskipun kedua tipe fondasi sistem PLTS terapung ini berbeda, keduanya memiliki bebeberapa manfaat yang sama, yaitu:
1. Meminimalkan kebutuhan lahan;
2. Meningkatkan efek pendinginan modul surya (panel surya) sehingga panel dapat meningkat efisiensinya jika dibandingkan terkena paparan panas secara langsung di lahan kering;
3. Mengurangi laju evaporasi air genangan dan pertumbuhan alga liar;
4. Tidak merusak fungsi lahan seperti perkebunan;
5. Dengan tidak dilakukannya pembebasan lahan artinya turut menjaga ekosistem dan habitat mahluk hidup disana.
PLTS terapung ini telah banyak dikembangkan di banyak negara, seperti Jepang, China, Korea, Amerika Serikat, Italia, Spanyol, dan masih banyak lagi. Selain di luar negeri, di Indonesia pun mulai mengembangkan PLTS terapung yaitu di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta. Dilansir dari berbagai smumber, pengembangan PLTS ini merupakan hasil dari kerjasama antara PT PLN dengan Madras, perusahaan asal Uni Emirates Arab. PLTS terapung di Waduk Cirata ini diproyeksikan menjadi PLTS apung terbesar di dunia dengan kapasitas 200 megawatt (MW). Dengan kapasitas sebesar itu, dapat Anda bayangkan berapa ratus hektar lahan yang harus terdegradasi untuk membangun PLTS dengan hitungan menggunakan modul surya dengan harga listrik tenaga surya 5000 watt.
SANKELUX- Pengaplikasian sistem PLTS untuk rumah tangga memiliki
dua skema, yaitu Solar Home System
(SHS) dan solar PV rooftop (PLTS
atap). Jika Anda memperhatikan, pada sistem solar
PV rooftop menggunakan net metering
sebagai tambahan komponen eksternal. Sedangkan dalam skema solar SHS atau sistem tenaga surya lainnya seperti PJUTS pun tidak
terdapat net metering di dalam
sistemnya. Lalu apa yang menjadikan komponen eksternal ini spesial? Apakah
pemakaian harga listrik tenaga surya 5000 watt pada sistem PLTS atap dapat memasang
net metering? Untuk menjawab dan memahaminya secara mendalam
baca tulisan ini hingga akhir.
Apa itu net metering?
Net metering adalah sistem
layanan yang diberikan PLN untuk pelanggan PLN yang memasang sistem pembangkit
listrik tenaga surya (PLTS) di properti mereka. Artinya, meskipun Anda memasang
sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga, Anda tetap harus menggunakan jaringan
listrik konvensional (PLN).
Siapa yang mengeluarkan peraturan?
Peraturan mengenai net metering ini dikeluarkan oleh
Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 0733 K/DIR Tahun 2013 tentang Pemanfaatan
Energi Listrik Dari Fotovoltaik (PV) Oleh Pelanggan PLN. Selain itu, keberadaan
net metering juga mengacu pada SPLN
D.5005-1:2015, yang disahkan pada tanggal 13 Mei 2016. Acuan ini mengenai
persyaratan teknis interkoneksi sistem fotovoltaik (PV) pada jaringan
distribusi tegangan rendah (JTR) dengan kapasitas hingga 30 kWp. Dengan adanya
acuan ini, net metering hanya dapat
diaplikasikan oleh pelanggan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Mengapa diperlukan?
Hadirnya net metering memungkinkan rumah tangga untuk dapat berperan aktif
dalam memproduksi listrik dalam skala kecil. Pelanggan PLN yang telah memiliki
instalasi PLTS di property miliknya dapat mengekspor listrik berlebih yang
dihasilkan PLT ke jaringan PLN. Selain itu, saat PLTS tidak mampu memenuhi
kebutuhan listrik pelanggan, net metering
dapat mengimpor listrik dari jaringan PLN. Berkat koneksi net metering yang terintegrasi dengan
PLN, memungkinkan sistem panel surya dapat mengakses listrik sepanjang malam
walaupun produksi panel surya tidak aktif. Sehingga panel surya Anda menjadi
solusi energi tanpa henti selama 24 jam.
Bagaimana net metering bekerja
dan dapat memasok energi sepanjang malam?
·
Panel mengubah sinar matahari menjadi energi
listrik
·
Inverter mengubah listrik yang diproduksi oleh
sinar matahari dari arus searah (DC) ke arus bolak-balik (AC) untuk digunakan
di rumah, sekolah atau kantor serta mengukur energi yang dihasilkan oleh sinar
matahari
·
Energinya kemudian digunakan untuk menghidupi
rumah, sekolah, atau kantor
·
Meteran akan menunjukan penggunaan energi yang
tersedia serta yang berlebih
·
Kelebihan listrik yang tidak terpakai akan
dikembalikan ke jaringan grid
Bagaimana mekanisme untuk mendapatkan
net metering?
·
Pelanggan yang ingin mengaplikasikan net
metering, harus mendaftar terlebih dahulu denga mengisi formulir di kantor PLN
wilayah terdekat.
·
Setelah aplikasi diterima, PLN akanmenginstall
kWh meter EXIM (Export - Import) di
rumah pelanggan.
·
Dalam sebulan, energi listrik PV yang diekspor
ke PLN akan dihitung, dan akan digunakan sebagai kredit untuk mengurangi
tagihan listrik konvensional di bulan berikutnya.
·
Energi listrik PV yang di ekspor kepada jaringan
PLN tidak dapat dikonversikan menjadi uang. Tetapi, sebagai kompensasi
kelebihan energi tersebut akan dikuantitasi dalam bentuk energi (kWh) sebagai
pengurang tagihan listrik. Jika Anda ingin mengkuantitasi kelebihan energi
dalam bentuk uang sesuai dengan harga jual listrik ke PLN maka gunakanlah sistem
net billing.
Sebagai informasi tambahan, untuk
mendapatkan dan mengurus net metering,
setiap wilayah memiliki kebijakan berbeda-beda tergantung pada kestabilan
sistem listrik PLN di wilayah tersebut. Dalam pencatatan biaya tagihan net metering pun akan berbeda dengan
pencatatan tagihan listrik konvensional. Komponen ekspor (jual listrik ke PLN)
perhitungannya akan di sesuaikan dengan daya listrik yang Anda gunakan,
misalnya harga listrik tenaga surya 5000 watt untuk pemakaian rumah tangga.
Dengan adanya net metering ini
telah meningkatkan keinginan masyarakat untuk memasang PLTS atap. Namun perlu
diketahui dalam memasang sistem PLTS atap
harus disesuaikan dengan beban kebutuhan energi rumah tangga. Hal ini
ditujukan agar tidak mengenai rekening minimum PLN seperti harga listrik tenaga
surya 5000 watt yang disebutkan sebelumnya. Dengan adanya net metering ini, pemasangan PLTS atap di Indoneisa tercatat telah
mencapai 338 pelanggan pada tahun 2018.