SANKELUX –
Indonesia dikaruniai sinar matahari yang berlimpah sepanjang tahun, yaitu lebih
dari 6 jam sehari atau 2400 jam dengan rata-rata intensitas sekitar 4,8 kWh/m²/hari setiap tahunnya. Tidak heran jika negara kita
digadang-gadang akan berhasil mencapai pemanfatan energi baru dan terbarukan (EBT) di masa depan khususnya di pemanfaatan
tenaga surya. Dimana energi surya yang dihasilkan berasal dari radiasi matahari
yang sampai ke permukaan bumi. Sinar
matahari dari radiasi tersebut kemudian diubah menjadi energi listrik dengan
menggunakan panel surya dengan kapasitas yang beragam. Sebagai contoh,
penggunaan harga listrik tenaga surya 5000 watt yang banyak digunakan untuk
gedung dan bangunan lainnya.
Jika
kamu bertanya-tanya apa itu radiasi, radiasi singkatnya adalah pemindahan
energi/kalor dari permukaan matahari ke suatu tempat di permukaan bumi yang dipancarkan
dalam bentuk gelombang elektromagnetik.
Radiasi
matahari ini sangat penting bagi pengaplikasian sitem PLTS. Hal ini dikarenakan
faktor utama yang menentukan besar kapasitas panel surya adalah lamanya
penyinaran matahari yang optimal untuk mengisi baterai agar dapat mensuplai
energi sesuai dengan kebutuhan beban. Lamanya penyinaran sering diistilahkan
sebagai waktu equivalent matahari (Equivalent Sun Hours atau Peak Sun Hours). Penentuan waktu
equivalent matahari ditentukan dari besarnya radiasi rata-rata per meter
persegi (m²)
luas panel per hari. Karena equivalent
rata-rata Indonesia besarnya dalah 4,8 kWh/hari, sehingga jam equivalent matahari adalah 4,8 jam.
Artinya,
saat memilih kapasitas panel surya harga listrik tenaga surya 5000 Watt per
panel belum tentu sesuai dengan intensitas radiasi di setiap kota. Pertimbangan
memilih panel surya dengan memperhatikan radiasi rata-rata di kota Anda akan
memaksimalkan efisiensi output panel surya. Nah, dibawah ini
terdapat radiasi sinar matahari rata-rata di 23 kota di Indonesia
SANKELUX- Pemanfaatan energi baru dan
terbarukan (EBT) sebagian besar untuk ketenagalistrikan. Target ini bermula
dari berkurangnya energi fosil terutama minyak dan gas bumi, sedangkan
kebutuhan terhadap energi adalah sebuah keniscayaan yang tiada henti. Stigma tidak akan ada kemajuan tanpa energi,
telah menjadikan EBT sebagai prioritas utama untuk menjaga ketahanan dan kemandirian
energi nasional di masa mendatang. Potensi EBT di Indonesia saat ini belum
dimanfaatkan secara maksimal, termasuk potensi tenaga surya.
Oleh
karena itu, dengan adanya peraturan pemerintah (Permen) No. 49 Tahun 2018
mengenai aturan penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap atau solar rooftop. Hal ini dianggap sebagai
langkah awal menuju kemajuan dalam mencapai target energi terbarukan di
Indonesia.
Berikut
intisari target Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan target yang berkaitan dengan
pemanfaatan solar rooftop sebagai
pembangkit listrik:
TAHUN
|
Total
Kapasitas Terpasang
|
Kapasitas
Pembangikt EBT
|
2015
|
55 GW
|
8.7 GW (15.7%)
|
2025
|
135 GW
|
Panas Bumi : 7.2 GW
Air : 2.1 GW
Bioenergi : 5.5 GW
Surya : 6.4 GW
Angin : 1.8 GW
Laut : 3.1 GW
|
Total : 45 GW (33%)
|
Institute for Essential Service Reform (IESR)
mengapreasi langkah pemerintah dalam membuat peraturan dan target EBT tersebut.
Dengan adanya kepastian hukum, solar
rooftop akan sangat cocok dikembangkan di daerah-daerah dimana biaya
produksi PLN relatif tinggi. Contohnya di wilayah timur Indonesia dan juga di
wilayah dimana peak load nya relatif
besar seperti Sumatera Utara.
Selain
itu, Permen ini juga mewajibkan pemasangan solar
rooftop oleh badan usaha dengan sertifikat tertentu. Menurut data dari IESR
tahun 2017, terdapat sejumlah kantor PLN yang sudah memasang solar rooftop sebagai proyek percontohan
dan media pembelajaran. Selain unit PLN juga ada beberapa pelanggan di Bali
yang sudah memasang sistem ini dan diintegrasikan dengan net metering yang diberlakukan oleh PLN.
Net mettering ini merupakan program
pengukuran bersih untuk memaksimalkan potensi solar rooftop guna mencapai EBT. Net metering ini sudah dilakukan
di beberapa instalasi yang memasang small-scale
solar rooftop dengan kapasitas dibawah 1 MW dan juga untuk pemakaian rumah
tangga dengan kisaran harga listrik tenaga surya 5000 watt.
Penggunaan
net metering ini ditujukan supaya pelanggan dapat mengalokasikan listrik yang
dihasilkannya ke jaringan PLN. Sehingga akan menarik lapisan masyarakat mulai
dari penggunaan rumah tagga hingga industrI untuk berinvestasi menggunakan
sistem ini. Dengan semakin maraknya pengguna yang berinvestasi pada sistem solar rooftop, tentu menjadi potensI
besar untuk mencapat total target 2025.
Berikut
ilustrasi net metering yang dilakukan
PLN:
Transaksi
|
kWh
|
PLN kirim energi ke
instalasi pelanggan
|
1000 kWh
|
PV Rooftop pelanggan kirim energi ke PLN
|
800 kWh
|
Misal tariff: Rp
1000/kWh
|
Rp 1.000.000
|
Pendapatan PLN
|
Rp 800.000
|
Pendapatan Transaksi
Pelanggan
|
|
Misal Rekening
Minimum (RM) = Rp 400.000
|
|
Maka:
|
|
Net metering transaksi
|
Rp 200.000
|
Dari transaksi
Rupiah yang harus dibayar pelanggan:
|
Rp 200.000
|
Namun karena ada
aturan RM maka pelanggan bayar:
|
Rp 400.000
|
Selsisih:
|
Rp 200.000
|
Selisish ini
diperhitungkan menjadi hutang PLN kepada pelanggan dan diperhitungkan pada
bulan-bulan berikutnya
|
|
Belum ada aturan
batas waktu perhitungan dari selisish yang ada
|
|